Fakta di Balik Isu “Deportasi Massal” di Jepang: Sanae Takaichi Bantah, Kimi Onoda Tegaskan Penegakan Aturan

- Sanae Takaichi resmi menjabat Perdana Menteri Jepang—perdana menteri perempuan pertama di negara tersebut.
- Isu palsu di X dan Facebook menuduh pemerintah menyiapkan “deportasi massal” WNA.
- Kimi Onoda ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Ekonomi dan menteri yang membidangi “masyarakat yang hidup berdampingan secara tertib dengan warga negara asing”.
- Pemerintah menegaskan: tidak ada deportasi massal. Fokusnya adalah penegakan aturan bagi WNA yang melanggar.
Apa yang Beredar di Media Sosial?
Sehari-dua hari pasca pelantikan, unggahan berbahasa Inggris, Thailand, Jerman hingga Spanyol menyebar di X dan Facebook.
Narasinya sensasional: Takaichi “segera membentuk kementerian deportasi massal” dan bahkan ada video yang mengklaim kaisar menyetujui
“rencana deportasi nasional”. Klaim-klaim ini mudah memantik emosi—padahal tidak disertai dokumen resmi atau rilis pemerintah.
kementerian deportasi. Portofolio ini berfokus pada tata kelola, ketertiban, dan kepatuhan aturan.
Apa Faktanya Menurut Pemerintah?
Kimi Onoda menegaskan Jepang akan menangani secara ketat WNA yang melanggar hukum atau menyalahgunakan sistem—sebuah pernyataan yang sejatinya
sejalan dengan praktik umum di banyak negara. Namun ia menampik kabar adanya deportasi massal.
“Penyalahgunaan sistem oleh sebagian penduduk asing, kejahatan, dan perilaku buruk dapat menimbulkan kecemasan.
Pemerintah akan menanganinya secara ketat.” — Kimi Onoda
Di kabinet Takaichi, penunjukan menteri yang secara eksplisit mengawasi isu ko-eksistensi sosial dengan WNA merupakan langkah baru,
meski unit dengan fungsi serupa sudah dibentuk pada era sebelumnya. Artinya, fokus kebijakannya adalah penguatan tata kelola,
bukan operasi pengusiran massal.
Konteks: Imigrasi Rendah, Populasi Menua, Kebutuhan Tenaga Kerja Meningkat
Dibanding negara maju lain, tingkat imigrasi Jepang relatif rendah. Namun, populasi yang menua dan tingkat kelahiran sangat rendah
mendorong banyak industri menghadapi kekurangan tenaga kerja. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pekerja asing bertambah—bersamaan dengan
tingginya angka kedatangan turis. Kombinasi faktor ini membuat isu WNA mudah menjadi tema kampanye dan bahan debat politik.
Baca Juga : KA Purwojaya Anjlok di Bekasi: Antrean Pembatalan Membludak di Gambir, KAI Minta Maaf
Jejak Misinformasi: “Ramai-Ramai Salah Paham”
Sebelum isu deportasi massal, kabar simpang siur sempat muncul terkait program pertukaran budaya-sosial
Jepang dengan empat negara Afrika—yang akhirnya dibatalkan setelah diserbu email dan telepon dari pihak yang keliru menganggap program itu
kebijakan imigrasi baru. Kota Kitakyushu juga sempat dilanda keluhan soal kabar tidak akurat mengenai makan siang ramah Muslim di sekolah.
Polanya serupa: narasi yang menyebar lebih cepat daripada klarifikasi.
Dampak Politik: Kenaikan Suara Partai Anti-Imigrasi
Pada pemilu majelis tinggi bulan Juli, partai anti-imigrasi Sanseito mencatat hasil yang cukup baik, menambah kursi dari 2 menjadi 15.
Di majelis rendah, partai ini memiliki tiga kursi. Agenda mereka sejalan dengan tren populis di berbagai negara: menentang “elitisme” dan
“globalisme”, serta menjanjikan “mengembalikan kekuasaan kepada rakyat”. Dalam atmosfer seperti ini, isu imigrasi menjadi
barometer sentimen publik—sekali lagi menjelaskan kenapa misinformasi mudah mendulang perhatian.
Timeline Singkat
| Peristiwa | Ringkasan | Dampak |
|---|---|---|
| Pelantikan Sanae Takaichi | PM perempuan pertama Jepang membentuk kabinet baru. | Portofolio WNA diawasi menteri khusus (Kimi Onoda). |
| Unggahan Viral di X/Facebook | Klaim “kementerian deportasi massal”, “persetujuan kaisar”. | Meningkatkan kebingungan dan kepanikan warganet. |
| Klarifikasi Pemerintah | Tegaskan tak ada deportasi massal; penegakan aturan bagi pelanggar. | Debat publik bergeser ke isu tata kelola & kepatuhan. |
Kesimpulan: Pisahkan Fakta dari Narasi
Pemerintahan baru Jepang memang menempatkan isu WNA dalam kerangka penertiban dan kepatuhan aturan. Namun, itu
bukan berarti ada kebijakan deportasi massal sebagaimana disebarkan akun-akun sensasional di media sosial. Mengingat sensitifnya tema
imigrasi di tengah kekurangan tenaga kerja dan tensi politik domestik, publik perlu ekstra cermat membaca informasi.
Verifikasi, cek sumber resmi, dan hindari menyebarkan klaim tanpa bukti—itulah cara paling sederhana menjaga diskursus tetap sehat.
Penjelasan dalam artikel ini merangkum keterangan pejabat terkait dan laporan media kredibel pada periode pemberitaan. Detail teknis kebijakan dapat berkembang mengikuti rilis resmi pemerintah Jepang.
