Baharuddin Lopa: Jaksa Agung yang Ditakuti Koruptor dan Tetap Dikenang 24 Tahun Setelah Wafat

Baharuddin Lopa – Sudah lebih dari dua dekade sejak Indonesia kehilangan Baharuddin Lopa, sosok jaksa agung yang namanya masih disebut setiap kali publik bicara soal penegakan hukum yang benar-benar berani. Lopa wafat pada 3 Juli 2001, di usia 65 tahun, ketika negara sedang panas-panasnya bicara reformasi dan bersih-bersih korupsi.
Kematian mendadaknya bikin publik kaget. Banyak yang masih mengingatnya bukan hanya sebagai pejabat negara, tapi sebagai figur yang berani menabrak kepentingan besar. Sampai hari ini, nama Lopa berdiri sebagai simbol: penegakan hukum itu bukan urusan pencitraan, tapi nyawa.
Profil Singkat Baharuddin Lopa
Nama Lengkap
Lahir
Wafat
Jabatan penting
Gas Pol dari Hari Pertama: Tidak Ada Pilih Kasih
Begitu dilantik sebagai Jaksa Agung, Baharuddin Lopa tidak pakai pemanasan. Meja kerjanya langsung dipenuhi berkas kasus besar yang selama bertahun-tahun seperti sengaja dilupakan. Pesannya sederhana: tidak ada yang kebal.
Lopa mendorong lagi status hukum pengusaha besar Prajogo Pangestu dalam perkara kehutanan. Ia juga mengejar Sjamsul Nursalim terkait dugaan penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya triliunan rupiah.
Bukan cuma menyentuh nama pengusaha. Lopa ikut membuka ulang kasus penggelapan dana non-buku Bulog yang hampir mencapai Rp 90 miliar, kasus yang menyeret nama Ketua DPR saat itu, Akbar Tandjung.
Banyak orang di pos-pos tinggi tidak nyaman. Publik justru antusias. Kenapa? Karena di masa itu, sangat jarang ada pejabat yang bicara lantang lalu benar-benar bergerak, bukan hanya konferensi pers.
Akhir Hidup yang Masih Dipertanyakan
Pada 2 Juli 2001, Baharuddin Lopa sedang melakukan perjalanan dinas ke Arab Saudi. Di sela tugas, ia juga menjalankan ibadah umrah. Di sana, ia tiba-tiba jatuh sakit.
Sehari kemudian, 3 Juli 2001, ia dinyatakan meninggal dunia di Riyadh. Penjelasan resmi menyebut serangan jantung akibat kelelahan. Tapi situasinya membuat banyak orang bertanya, karena Lopa saat itu sedang menyentuh terlalu banyak kasus besar dan terlalu banyak nama kuat.
Baca Juga : BMKG Peringatkan Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Risiko Banjir: Warga Diminta Siaga
“Nasib saya di tangan Tuhan. Yang penting kebenaran harus ditegakkan.”
Kalimat itu diucapkan Lopa jauh sebelum ia wafat. Buat banyak orang, itu bukan sekadar kalimat heroik. Itu bunyi mentalitas orang yang sudah siap bayar harga.
Perjalanan Panjang Seorang Jaksa
Baharuddin Lopa bukan sosok instan. Ia lahir dan besar di Pambusuang, Polewali Mandar, yang pada masa itu masih termasuk wilayah Sulawesi Selatan. Ia dikenal disiplin sejak muda dan tidak kompromi soal kejujuran.
Ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Diponegoro, lalu memperdalam kajian hukum laut. Kariernya dimulai sebagai jaksa pada tahun 1958 di Makassar.
Dari sana, ia naik pelan tapi bersih: Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung, anggota Komnas HAM (1993–1998), Menteri Kehakiman dan HAM, Duta Besar RI untuk Arab Saudi, dan akhirnya Jaksa Agung RI.
Menariknya, jabatan mungkin bergeser-geser, tapi wataknya tidak pernah bergeser. Dia tidak pernah jadi politisi. Dia tidak pernah jadi buzzer. Dia tetap penegak hukum.
Musuh Para Koruptor, Bahkan di Daerah
Sejak era sebelum reformasi, nama Lopa sudah bikin banyak pejabat lokal tidak tenang. Ketika ia dipindahkan ke daerah demi “menjauhkannya” dari pusat kekuasaan, misinya tidak selesai. Di Aceh, misalnya, Lopa justru membongkar penyelundupan kayu dan beras yang merugikan negara miliaran rupiah.
Ancaman fisik? Sudah biasa. Tekanan politik? Rutin. Tapi dia terus maju. Dia melihat hukum bukan sebagai alat transaksi, tapi sebagai kewajiban moral.
Hidup Sederhana, Tidak Numpang Gaya
Yang membuat orang sulit benci pada Lopa adalah fakta bahwa dia bukan tipe pejabat yang sok bersih di depan kamera lalu hidup glamor di belakang.
Gaya hidupnya lurus. Rumahnya tidak mewah. Mobil pribadinya hanya sebuah Toyota Kijang. Keluarganya tidak diizinkan pakai mobil dinas untuk urusan pribadi. Dia tidak bentuk dinasti kecil-kecilan.
Bahkan ada cerita kecil yang sering diulang: dia pernah membeli hadiah ulang tahun cucunya yang harganya hanya beberapa ribu rupiah. Kedengarannya sepele, tapi di negara di mana pejabat publik berlomba-lomba pamer gaya hidup, cerita kecil begitu terasa keras.
Seorang pejabat tinggi di Kejaksaan Agung pada masanya pernah mengatakan, kira-kira begini: Lopa memang tidak kaya, tapi itu karena ia memilih jujur. Kalimatnya sederhana, pesannya memalukan banyak orang.
Nama yang Terus Disebut Sampai Sekarang
Setelah ia wafat, cerita Baharuddin Lopa tidak berhenti. Kisah dan sepak terjangnya kemudian dirangkum dalam berbagai forum diskusi dan buku biografi. Salah satunya berjudul “Lopa yang Tak Terlupa”, yang membahas cara dia bekerja, cara dia menekan korupsi, dan cara dia menjaga etik.
Tokoh-tokoh hukum dan politik sering menjadikan Lopa sebagai rujukan ketika bicara integritas hukum. Bahkan dalam panggung politik nasional beberapa tahun lalu, namanya masih disebut ketika calon pemimpin negeri bicara soal ideal penegakan hukum.
Ini menunjukkan satu hal penting: di negara yang sering pesimis terhadap lembaga hukum, masyarakat masih percaya pada figur seperti Lopa. Figur yang tidak cuma pintar bicara, tapi benar-benar berani mengambil risiko.
Kenapa Lopa Masih Relevan Hari Ini
- Keberanian hukum: Ia tidak takut menyentuh nama besar. Itu jarang terjadi bahkan sekarang.
- Integritas pribadi: Gaji pejabat, gaya hidup pejabat. Selesai. Tidak ada drama “asal bukan keluarga saya yang disentuh”.
- Simbol perlawanan korupsi: Dia berdiri di posisi yang seharusnya ditempati negara, bukan hanya partai.
- Keteladanan moral: Dia tidak hanya bicara undang-undang. Dia bicara benar dan salah.
Lebih dari 20 tahun setelah kepergiannya, rasa kehilangan itu anehnya masih terasa. Bukan sekadar kehilangan satu orang. Rasanya seperti kehilangan standar.
