Romo Mudji Sutrisno SJ Wafat, Figur Pemersatu Iman, Nalar, dan Ruang Publik

Romo Mudji Sutrisno SJ Wafat, Figur Pemersatu Iman, Nalar, dan Ruang Publik

Romo Mudji Sutrisno SJ Wafat
Romo Mudji Sutrisno SJ Wafat

Romo Mudji Sutrisno SJ Wafat – Indonesia berduka atas wafatnya Romo Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno SJ, imam Jesuit yang dikenal sebagai akademisi, budayawan, dan pernah menjadi anggota KPU.
Ia dikenang luas sebagai sosok yang konsisten merawat dialog lintas iman, mengajarkan berpikir kritis, serta menjembatani tradisi dan modernitas.

Figur Pemersatu di Tengah Zaman yang Mudah Terbelah

Dunia intelektual dan kebudayaan Indonesia kehilangan seorang figur yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai “jembatan” di banyak ruang:
antara iman dan nalar, tradisi dan modernitas, serta ruang gereja dan gelanggang sosial.
Romo Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno SJ dikenang bukan karena sikap keras atau retorika yang memecah, melainkan karena
kebiasaan merawat percakapan dan memperluas pemahaman.

Bagi banyak orang, sosok seperti Romo Mudji terasa langka: ia bisa religius tanpa mengurung diri, kritis tanpa merendahkan, dan rasional tanpa menghilangkan rasa.
Di tengah perbedaan yang sering berubah menjadi kecurigaan, ia memilih jalan yang lebih melelahkan namun lebih berguna: mendengar, menjelaskan, dan mempertemukan.


Akar Jawa dari Solo dan Panggilan Serikat Yesus

Romo Mudji lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 12 Agustus 1954.
Akar kebudayaan Jawa yang kuat membentuk sensitivitasnya terhadap bahasa, simbol, tradisi, serta cara masyarakat memberi makna pada hidup.
Kedekatan awal dengan Gereja kemudian membawanya pada panggilan religius yang dijalani melalui Serikat Yesus (SJ).

 

Baca Juga : PT Sarinah Jelaskan Insiden Kebakaran Dekorasi Fasad di Gedung Sarinah Thamrin

 

Dalam tradisi Jesuit, pendidikan dan pelayanan publik sering berjalan beriringan. Itulah mengapa, sejak awal, Romo Mudji tidak hanya menghidupi peran rohani,
tetapi juga menaruh perhatian pada persoalan sosial: bagaimana masyarakat hidup berdampingan, bagaimana kuasa diawasi, dan bagaimana suara yang lemah tetap punya tempat.

Pendidikan di Roma dan Dedikasi Mengajar di STF Driyarkara

Pendidikan doktoral filsafat di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, memperkaya wawasannya dengan tradisi pemikiran Barat
sekaligus memperhalus cara ia membaca dinamika masyarakat modern. Sekembalinya ke Indonesia, ia mendedikasikan diri sebagai pengajar di
Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.

Di ruang kelas, ia dikenal sebagai dosen yang menuntut mahasiswa untuk berpikir kritis: bukan sekadar hafal teori,
tetapi mampu menguji alasan, menata argumen, dan memeriksa konsekuensi moral dari sebuah pilihan. Ia membentuk kebiasaan akademik yang sederhana tapi keras:
membaca dengan tekun, berpikir jujur, dan berdialog dengan rendah hati.

Yang sering dikenang dari cara mengajarnya

  • Kritis tanpa sinis: tajam menguji argumen, tapi tidak merendahkan orang.
  • Religius tanpa eksklusif: iman hadir sebagai energi, bukan tembok pemisah.
  • Rasional tanpa kehilangan rasa: logika tetap peka pada kemanusiaan.
  • Dialog sebagai kebiasaan: berani berbeda, namun tetap saling menghormati.

Pernah di KPU: Demokrasi sebagai Praktik Moral

Pada awal era reformasi, Romo Mudji sempat masuk ke ruang publik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pengalaman ini memperkaya pandangannya tentang demokrasi: bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur, bukan pula rutinitas pemilu,
tetapi praktik moral yang menuntut kejujuran, tanggung jawab, dan keberpihakan kepada mereka yang rentan.

Ia kerap menekankan bahwa kualitas demokrasi ditentukan oleh etika para pelakunya: bagaimana kuasa dipakai, bagaimana kebenaran dijaga,
dan bagaimana kepentingan bersama didahulukan. Bagi Romo Mudji, politik yang sehat bukan yang selalu gaduh, melainkan yang punya kompas moral.

Ia memandang demokrasi sebagai praktik moral yang membutuhkan kejujuran dan keberpihakan pada yang lemah, bukan sekadar ritual prosedural.

Merawat Pluralisme dan Dialog Lintas Iman

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, Romo Mudji dikenal gigih merawat pluralisme.
Dialog lintas iman baginya bukan acara seremonial, melainkan kerja sehari-hari: mendengar, memahami, dan menghormati.
Ia mempraktikkan dialog bukan sebagai kompromi murahan, melainkan sebagai bentuk kedewasaan: mampu hidup bersama tanpa harus meniadakan perbedaan.

Prinsipnya sederhana dan tegas: agama semestinya menjadi sumber perdamaian. Sikap inilah yang membuatnya diterima melampaui batas komunitas Katolik,
karena yang ia bawa bukan klaim kemenangan, melainkan undangan untuk merawat kemanusiaan.

Jejak peran yang melekat pada Romo Mudji

Rohani
Imam Jesuit
Menghidupi tradisi Serikat Yesus
Akademik
Dosen filsafat
STF Driyarkara, Jakarta
Kebudayaan
Budayawan
Membaca tradisi dan modernitas
Publik
Mantan anggota KPU
Etika demokrasi

Warisan: Cara Berpikir yang Ditularkan

Banyak orang mengenang Romo Mudji bukan karena satu karya atau satu panggung tertentu, melainkan karena cara berpikir yang ia tularkan.
Ia membentuk kebiasaan mental: menimbang argumen sebelum bereaksi, menguji keyakinan tanpa kehilangan hormat, dan berani menyeberang
dari satu kubu ke kubu lain demi mencari titik temu yang manusiawi.

Di ruang akademik, ia membantu generasi muda menemukan bahasa untuk menjelaskan dunia. Di ruang sosial, ia membantu orang dewasa
tetap waras ketika perbedaan mulai terasa mengancam. Dan di ruang iman, ia mengingatkan bahwa kerendahan hati sering lebih kuat
daripada keinginan menang debat.

Duka dan Relevansi Pesan di Akhir 2025

Kepergian Romo Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno SJ meninggalkan duka sekaligus warisan intelektual yang tetap hidup.
Di tengah dunia yang rentan terbelah, pesannya untuk berpikir jernih, beriman dengan rendah hati,
dan merawat kemanusiaan tetap relevan, terutama ketika masyarakat mudah terseret polarisasi.

Selasa, 29 Desember 2025 menjadi penanda duka itu, sekaligus pengingat bahwa Indonesia masih membutuhkan figur-figur yang mampu
mempersatukan tanpa memaksakan, dan mengajar tanpa menggurui.

FAQ

Siapa Romo Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno SJ?

Ia adalah imam Jesuit, akademisi, budayawan, dan pernah menjadi anggota KPU yang dikenal merawat dialog lintas iman serta etika demokrasi.

Di mana Romo Mudji mengajar?

Ia mendedikasikan diri sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.

Apa latar pendidikannya?

Ia menempuh pendidikan doktoral filsafat di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma.

Apa gagasan yang sering ia tekankan tentang demokrasi?

Ia menegaskan demokrasi bukan hanya prosedur, melainkan praktik moral yang membutuhkan kejujuran dan keberpihakan pada yang lemah.

Mengapa ia dikenang sebagai figur pemersatu?

Karena ia konsisten menjembatani iman dan nalar, tradisi dan modernitas, serta merawat dialog lintas iman di masyarakat majemuk.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top